Rabu, 22 Juni 2011

POSISI AL-QURAN

Al-Quran, Undang-Undang Paling Utama Kehidupan



Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar�dasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman,







"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)







"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)



Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan. Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.

Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada ke�bahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara warna�wama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesen�tosaan dan lain-lain.

Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatan�perbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.

Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenar�an.

Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senan�tiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk meme�nuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.

Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuat�an-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat bagi�nya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.

Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menye�rupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasa�an dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu ma�syarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya ber�laku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.

Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya ber�laku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukum�hukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.

Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,







"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)



Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir - sampai�sampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun � pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukum�hukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukum�hukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:







"Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)



Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.

Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.

Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletak�kan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Meng�hijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar ter�tentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga ber�jalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditem�puh olch gandum, sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.

Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia me�nyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.

Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah ber�firman:







"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi�nya petunjuk'." (QS 20:50)







"Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)�Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)







"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah mem�beritahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)







"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)







"Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam. (QS 3:19)







"Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan di�terima. " (QS 3:85)



Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang ber�kandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manu�sia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manu�sia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta meng�ikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.

Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.

Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menun�jukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manu�sia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-�faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.

Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peris�tiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:







"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)







1). Kata sabilillah (jalan Allah), dalam kebiasaan Al-Quran, berarti agama Allah. Ayat itu juga menunjukkan bahwa orang~orang kafir - termasuk di dalamnya orang-orang yang mengingkari adanya Tuhan - pun memiliki agama, yaitu jalan hidup mereka.

POSISI AL-QURAN

Al-Quran, Menentukan Jalan Hidup Manusia



Setelah tiga premis di atas jelas, maka harus diketahui pula bahwa Al-Quran - di sampinq memperhatikan tiga premis tersebut, yaitu manusia mempunyai tujuan yang harus dicapainya dalam perjalanan hidupnya dengan usaha dan perbuatannya, dan dia tidak mungkin mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu kecuali dengan mengikuti hukum-hukum dan tata cara tertentu serta keharusan mempelajari hukum-hukum dan tata cata itu dari buku fitrah dan penciptaan, yakni ajatan Allah - juga menentu�kan jalan hidup bagi manusia sebagai berikut:

AI-Quran mendasarkan jalan itu pada keimanan akan keesaan-�Nya sebagai dasar pertama agama; Al-Quran menjadikan keimanan kepada akhirat dan Hari Kiamat, yaitu hari ketika orang yang baik dibalas karena kebaikannya dan yang jahat dibalas karena kejahat�annya, sebagai dasar-kedua agama. Hal ini pada gilirannya membawa kepada keimanan kepada kenabian, karena perbuatan-�perbuatan bisa dibalas setelah si pelakunya mengetahui ketaatan dan maksiat, yang baik dan yang buruk. Pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh kecuali melalui wahyu dan kenabian - sebagaimana akan kami rinci nanti. Al-Quran menjadikan ke�imanan kepada kenabian ini sebagai dasar ketiga agama.

Al-Quran memandang ketiga dasar ini: keimanan kepada keesaan Allah, kenabian dan akhirat sebagai dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akhlak yang diridhai dan sifat-sifat baik yang sesuai dengan ketiga dasar tersebut, dan setiap orang beriman harus menghiasi diri dengannya. Kemudian AI-Quran menetapkan hukum-hukum perbuatan yang menjamin kebahagiaan hakiki manusia dan menyuburkan akhlak yang utama dan faktor-faktor yang mengantarkannya kepada akidah yang benar dan prinsip-prinsip pokok.

Tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang bergelimang dalam seks yang diharamkan, mencuri, berkhianat dan curang, adalah suci. Begitu pula, tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang keterlaluan dalam mencintai harta, mengumpulkan dan menyimpannya, dan tidak mau memenuhi hak-hak orang lain, adalah suci. Tidak logis pula bila kita menganggap orang yang tidak menyembah Allah dan mengingat-Nya siang dan malam, sebagai beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

Dengan demikian, akhlak yang baik maujud kuena adanya perbuatan-perbuatan baik, sebagaimana akhlak yang baik itu ada karena akidah yang benar.

Seseorang yang terbelenggu kesombongan, kebanggaan dan kecintaan kepada diri sendiri, tidak mungkin mempercayai Allah dan mengakui keagungan-Nya. Dan orang yang selama hidupnya tidak mengetahui makna keadilan, keperwiraan dan welas-asih terhadap yang lemah, tidak akan masuk ke dalam hatinya intan kepada Hari Kiamat, perhitungan dan balasan di akhirat. Tentang hubungan antara akidah yang benar dengan akhlak yang diridhai, Allah berfirntan:







"Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang baik dinaikkan-Nya. " (QS 85:10)



Dan tentang hubungan antara akidah dengan perbuatan, Allah berfirman:







"Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah azab yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat�ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS 90:10)



Kesimpulan dari pembicaraan di atas adalah bahwa Al-Quran mwgandung sumber-sumber ketiga dasu Islam, yaitu:

Dasar-dasar akidah. Ini terbagi menjadi tiga dasar agama: tauhid, kenabian dan akhirat, dan akidah-akidah yang merupakan cabang darinya, seperti lauh mahfudh, qalam, qadha' dan qadar, malaikat, menghadap Allah, kursi, penciptaan langit dan bumi dan lain-lain.

Akhlak yang diridhai.

Hukum-bukum syara' dan perbuatan yang dasar-dasarnya telah dijelaskan Al-Quran, sedangkan penjelasan terincinya diserahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dan Nabi menjadikan penjelasan Ahlul Bait (keluarga)-nya sama dengan penjelasan beliau, sebagaimana diketahui dari hadits tsaqalain yang secara mutawatir diriwayatkan baik oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah.1)



1). Baca 'Abaqatul Anwar, bagian "Hadits Tsaqalain". Di situ disebutkan beratus-ratus sanad yang sampai kepada hadis tersebut.

POSISI AL-QURAN

AI-Quran, Sandaran Kenabian



Al-Quran menegaskan di beberapa tempat bahwa ia adalah fiirman Allah Yang Mahaagung, yang diwahyukan-Nya kepada Nabi dalam bentuk kata-kata yang kita baca dari Al-Quran. Untuk membuktikan bahwa ia adalah firman Allah, bukan hasil ciptaan manusia, dalam beberapa ayat, AI-Quran menantang semua manusia untuk mendatangkan apa pun yang menyamai Al-Quran walaupun satu ayat. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu berkekuatan mukjizati, yang tak seorangpun sanggup mendatangkan yang semisalnya. Allah berfirman:






"Atau mereka mengatakan: 'Muhammad membuat-buatnya.' Sesungguhnya mereka tidak beriman." (QS 52:33)







"Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang menyamai Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuatnya walaupun mereha saling membantu'." (QS 17:88)







"Bahkan mereka mengatakan: 'Muhammad telah membuat�buatnya.' Katakanlah: 'Datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya'." (QS 11:13)







"Atau mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membuat-buatnya? Katakanlah: 'Datangkanlah sebuah surat yang menyamai Al-Quran. � (QS 10:38)







"Apabila kamu meragukan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah sebuah surat yang me�nyamainya." (QS 2:23)



Untuk menantang mereka tentang tiadanya pertentangan dalam Al-Quran, Allah berfirman:







"Tidakkah mereka itu memikirkan Al-Quran? Seandainya Al�Quran itu tidak dari Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)



Dengan tantangan-tantangannya ini Al-Quran menegaskan bahwa ia merupakan firman Allah, dan menjelaskan dalam banyak ayatnya bahwa Muhammad adalah seorang Rasul dan Nabi yang diutus Allah. Dengan demikian, Al-Quran merupakan sandaran bagi kenabian dan menopang pernyataan Nabi. Dari itu, Nabi diperintahkan untuk bertumpu pada kesaksian Allah tentang hal itu, yakni penegasan AI-Quran terhadap kenabiannya. Al-Quran mengatakan:







"Katakanlah: "Cukuplah Allah yang menjadi saksi antara aku dan kamu. � (QS 13:43)



Di tempat lain Al-Quran mengungkapkan kesaksian malaikat, selain kesaksian Allah, tentang kenabiannya itu. Ia mengatakan:







"Tetapi Allah menyaksikan apa yang diturunkan-Nya kepadamu. Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat menyaksikan. Cukuplah Allah yang menjadi saksi." (QS 4:166)

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

AI-Quran, Sebuah Kitab Universal



Al-Quran tidak mengkhususkan pembicaraannya kepada bangsa tertentu, seperti bangsa Arab, dan kelompok tertentu, seperti kaum Muslimin. Tetapi ia berbicara kepada bukan Muslim amaupun Muslim (bukti untuk hal ini adalah banyak titah dan hujah dalam banyak ayat Al-Quran, sehingga tak perlu lagi kami kutipkan di sini), termasuk orang-orang kafir, musyrik, Ahlul Kitab, Yahudi, Bani Israil dan Nasrani. AI-Quran menghujah setiap kelompok ini dan mengajak mereka untuk menenma ajaran-jarannya yang benar.

AI-Quran juga menyeru setiap kelompok ini melalui hujah-hujah dan penalaran. Ia tidak pernah mengkhususkan pembicaraannya kepada bangsa Arab saja. Mengenai para penyembah ber�hala, ia berkata:







"Apabila mereka bertobat, mendirikan salat dan membayar�kan zakat, maka mereka menjadi saudaramu dalam agama." (QS 9:11)



Dan mengenai Ahlul Kitab,1) ia berkata:






"Katakanlah: 'Wahai Ahlul Kitab, marilah menuju kepada keputusan yang sama antara kami dan kamu. Hendaklah kita tidak menyembah kecuali Allah, tidak menyekutukan-Nya, dan sebagi�an kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. � (QS 3:64)



Kita melihat bahwa Al-Quran tidak berbicara dengan kata�kata "apabila orang-orang musyrik Arab bertobat" atau "wahai Ahlul Kitab Arab." Memang, dalam permulaan Islam - ketika dakwah Islam belum tersebar dan keluar dari wilayah Jazirah Arab - pembicaraan-pembicaraan Al-Quran ditujukan kepada bangsa Arab. Namun, sejak tahun keenam Hijrah, setelah dakwah Islam tersebar sampai di luar Jazirah Arab, tidak ada lagi alasan untuk pengkhususan. Di samping ayat-ayat tadi, ada ayat-ayat lain yang menunjukkan universalitas dakwah Islam, seperti firman Allah:







�Al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang Al-Quran sampai kepadanya." (QS 6:19)







�Al-Quran iiu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam (bangsa)." (QS 68:52)







"Sesungguhnya Al-Quran itu adalah peringatan bagi seluruh alam (bangsa)." (QS. 38:87)







"Sesungguhnya ia (neraka) adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia. " (QS 74:35-36)



Dari kenyataan-kenyataan sejarah kita mengetahui banyak penyembah berhala, orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang dari bangsa-bangsa non-Arab yang memenuhi panggilan Islam, seperti Salman dari Persia, Sahib dari Romawi, Bilal dari Ethiopia dan lain-lain.





1). Seperti orang-orang Nasrani, Yahudi dan Zoroaster.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Al-Quran, Sebuah Kitab yang Sempurna



Al-Quran memuat dan menerangkan tujuan puncak umat manusia dengan bukti-bukti kuat dan sempurna. Dan tujuan itu akan dapat dicapai dengan pandangan realistik terhadap alam, dan dengan melaksanakan pokok-pokok akhlak dan hukum-hukum perbuatan. Al-Quran menggambarkan tujuan ini secara sempurna. Allah berfirman:







"Menunjukkan kepada kebenaran dan jalan yang lurus." (QS 46:30)



Di tempat lain, setelah menyebutkan Taurat dan Injil, Allah berfirman:







"Kami tusunkan Al-Quran kepadamu dengan membawa kebenaran, untuk membenarkan dan mengoreksi kitab yang sebelumnya. " (QS 5:48)



Mengenai bahwa AI-Quran mengandung pokok syariat para Nabi, Allah berfirman:







"Dia mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan�Nya kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, dan agama yang telah diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa." (QS 42: 13)



Mengenai bahwa Al-Quran meliputi segala sesuatu, Allah berfirman:







"Kami menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)



Kesimpulan dari ayat-ayat tadi ialah bahwa Al-Quran mengandung kebenaran-kebenaran sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab-kitab samawi yang lain, disertai beberapa tambahan, dan di dalamnya terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam perjalanannya menuju kebahagiaan yang diinginkannya, termasuk dasar-dasar akidah dan perbuatan.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

AI-Quran, Sebuah Kitab yang Abadi



Pembahasan yang lalu menegaskan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang abadi di sepanjang zaman. Karena bila suatu perkataan sepenuhnya benar dan sempurna, maka tidak mungkin ia terbatas oleh zaman. Al-Quran telah menegaskan kesempurnaan perkataannya:







"Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar perkataan yang pasti, dan bukan merupakan permainan." (QS 86:13-14)



Demikianlah, pengetahuan yang benar itu merupakan hakikat kebenaran. Dasar-dasar akhlak dan hukum-hukum perbuatan yang dijelaskan Al-Quran merupakan hasil dari kebenaran-kebenaran yang telah mapan, tidak akan terjamah kebatilan, serta tak akan musnah di sepanjang zaman. Allah berfirman:







"Dengan kebenaran, Kami menurunkan Al-Quran, dan dengan membawa kebenaran ia turun." (QS 17:105)







"Sesudah kebenaran tidak ada lain kecuali kesesatan." (QS 10:32)







"Sesungguhnya Al-Quran itu adalah sebuah kitab yang mulia dan tidak akan didatangi kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang." (QS 41:41-42)



Tidak diragukan lagi bahwa telah banyak pembahasan ditulis tentang hukum-hukum Al-Quran yang tetap, abadi dan tidak khusus untuk suatu waktu. Hanya saja hal itu di luar tema pembahasan kami yang berupaya mengetahui kedudukan Al-Quran bagi kaum Muslimin sebagaimana dipaparkan oleh AI-Quran itu sendiri.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Al-Quran Mandiri dalam Penalarannya



AI-Quran menggunakan suatu bahasa yang, seperti semua bahasa manusia, memaparkan secara jelas makna-makna yang di�maksudkannya dan konsep-konsep yang diinginkannya, serta tidak ada kesamaran di dalamnya bagi orang-orang yang mendengarkan penalarannya. Tidak ada bukti bahwa maksud AI-Quran tidak seperti arti kata-kata Arabnya. Bukti bahwa Al-Quran itu sederha�na dan jelas ialah bahwa setiap orang yang mengetahui bahasa Arab dapat mengetahui makna ayat-ayatnya persis sebagaimana ia mengetahui makna setiap perkataan Arab. Di samping itu, kami menemukan dalam banyak ayat titah-titah yang ditujukan kepada kelompok tertentu seperti Bani Israil, orang-orang beriman atau kafir. Dan dalam beberapa ayat, Al-Quran bertitah kepada seluruh manusia,1) menghujah dan menantang mereka untuk mendatang�kan yang menyamai AI-Quran, jika mereka meragukan bahwa Al-Quran datang dari sisi Allah. Tentu tidak dapat dibenarkan berbicara kepada manusia dengan kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya dengan jelas oleh mereka. Tidak dibenarkan pula mengajukan tantangan kepada mereka dengan sesuatu yang tidak di�pahami maknanya oleh mereka. Allah berfirman:







"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka tertutup." (QS 47:24)







Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia datang dari sisi selain Allah, tentu mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)



Dua ayat ini menunjukkan keharusan merenungkan (me�mahami) Al-Quran, Perenungan terhadap Al-Quran akan dapat menghilangkan gambaran yang sepintas lalu ayat-ayatnya tampak saling bertentangan. Bila maksud ayat-ayat itu tidak jelas, tentu saja perintah untuk merenungkan dan memikirkan Al-Quran itu merupakan sesuatu yang sia-sia. Begitu pula, tidak akan ada tempat untuk menganalisis pertentangan-pertentangan lahiriah antarayat dengan jalan merenungkan dan memikirkan.

Adapun pemyataan bahwa tidak ada alasan atau sebab lahiriah untuk menafikan makna-makna lahiriah Al-Quran, sebagaimana telah kami sebutkan, karena tidak adanya dalil untuk hal itu se�lain persangkaan sebagian orang bahwa kita - dalam memahami maksud-maksud Al-Quran - harus merujuk kepada hadis Rasulul�lah s.a.w. atau Ahlul Bait-nya a.s. Ini merupakan suatu persangka�an kosong dan tidak dapat diterima, karena sabda-sabda Rasulullah s.a.w. dan para Imam a.s. itu sendiri harus disimpulkan dari Al�Quran. Maka bagaimana mungkin menggantungkan makna-makna lahiriah AI-Quran kepada sabda mereka? Bahkan dapat kami tambahkan bahwa dasar kenabian dan imamah diberikan oleh Al-Quran.

Apa yang telah kami sebutkan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasulullah dan para Imam ditugaskan untuk menjelaskan perincian undang-undang dan hukum-hukum Allah (syariat) yang tidak terdapat dalam arti-arti lahiriah Al-Quran, disamping menjadi pembimbing untuk memahami pengetahuan�pengetahuan Kitab Suci ini, sebagaimana tampak dari ayat-ayat berikut ini:







"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu agar engkau menjelas�kan kepada manusia apa ynng telah diturunkan kepada mereka." (QS 16:44)







"Apa yang dibawa oleh Rasulullah, ambillah, dan apa yang kamu dilarang olehnya, tinggalkanlah." (QS 59:7)







"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali agar ditaati dengan izin Allah." (QS 4:64)







"Dialah yang mengutus kepada orang-orang yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan Al-Quran dan hikmah kepada mereka." (QS 62:2)



Yang dapat dipahami dari ayat-ayaf ini ialah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah orang yang menjelaskan bagian-bagian dan perincian syariat, dan dialah yang diajari tentang Al-Quran oleh Allah. Dan pernyataan hadits tsaqalain menunjukkan bahwa para Imam adalah pengganti Rasulullah dalam hal itu. Ini tidak menafikan dapat diketahuinya maksud Al-Quran melalui arti-arti lahirnya oleh sebagian orang yang menjadi murid guiu-guru sejati.





1). Sebagai contoh, "Hai orang-orang kafir ..... ", "Hai Ahlul Kitah ....." dan "Hai manusia ..... "

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Al-Quran Mempunyai Arti Lahir dan Batin



Allah berfirman:







"Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (QS 4:36)



Arti lahir ayat ini menunjukkan bahwa ayat tersebut melarang menyembah berhala, seperti ditunjukkan dalam firman Allah:







"Jauhilah berhala-berhala yang najis itu." (QS 22:30)



Tetapi, setelah merenungkan dan menganalisis, maka jelas bahwa alasan pelarangan menyembah berhala itu ialah karena penyembahan semacam itu merupakan bentuk kepatuhan kepada selain Allah. Hal ini tidak hanya berupa penyembahan kepada berhala saja, tetapi juga menaati setan, sebagaimana firman-Nya:







"Bukankah Kami telah memerintahkanmu, hai Bani Adam, agar kamu tidak menyembah setan." (QS 36:60)



Analisis lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara ketaatan kepada diri dan ketaatan kepada yanglain,karena meng�ikuti hawa nafsu merupakan penyembahan kepada selain Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:






"Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya." (QS 45:23)



Dengan analisis lebih cermat, tahulah kita tentang keharusan untuk tidak berpaling kepada selain Allah, karena berpaling kepada selain-Nya itu berarti mengakui kemandiriannya dan tunduk kepadanya. Inilah yang dinamakan menyembah dan taat itu. Allah berfirman:







"Sesungguhnya telah Kami ciptakan banyak manusia dan jin. Mereka adalah orang-orang yang lupa." (QS 7:179)



Sepintas kilas ayat �janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun" menunjukkan bahwa berhala-berhala tidak boleh disembah. Namun suatu pandangan Iebih mendalam menun�jukkan larangan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika pandangan itu diperluas lagi, maka akan tampak larangan melupakan Allah dan berpaling kepada selain-Nya.

Penahapan ini, pertama tampak makna awal dari suatu ayat, kemudian tampak makna yang lebih luas daripada yang pertama dan begitu seterusnya, berlaku pada semua ayat AI-Quran.

Dengan merenungkan masalah ini, maka jelaslah makna hadis yang diriwayatkan dalam buku-buku hadis dan tafsir:







"Sesungguhnya Al-Quran mempunyai arti lahir dan batin. Dan batinnya terdiri atas satu sampai tujuh batin. "1)



Atas dasar inilah AI-Quran mempunyai makna lahir (zhahr) dan batin (bathn), dan kedua makna tersebut sama-sama merupa�kan maksud. Hanya saja keduanya terjadi secara memanjang, tidak melebar, karena maksud makna lahir tidak menafikan maksud makna batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna lahir.





1). Pendahuluan kedelapan kitab ash-Shaft dan Safinatul Bihar dibawah judul "Bathana�

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Mengapa AI-Quran
Berbicara dengan Gaya Lahir dan Batin



Manusia, dalam kehidupannya yang pertama dan sementara di dunia ini, menyerupai gelembung di samudra materi. Setiap kegiatannya dalam arus keberadaannya bergantung kepada samudra materi yang luas itu, dan ia harus berurusan dengan materi. Indera lahir dan batinnya sibuk dengan materi, dan pikirannya hanya mengikuti pengetahuan inderawinya. Makan dan minum, duduk dan berdiri, berbicara dan mendengarkan, pergi dan datang, bergerak dan diam, dan semua perbuatan serta pekerjaan yang dilakukan manusia, berkenaan dengan materi, dan dia tidak memiliki pikiran lain.

Aktivitas spiritual manusia, seperti cinta, permusuhan, cita�cita, derajat yang tinggi dan lain-lain, sebagian besar digambarkannya dalam bentuk materi, seperti menyamakan manisnya kemenangan dengan manisnya gula, daya tarik persahabatan dengan daya tarik magnit, tingginya cita-cita dengan tingginya tempat atau bintang di langit, besar dan tingginya kedudukan dengan besarnya gunung, dan lain-lain. Di samping itu, kemampuan ma�nusia untuk mengetahui hal-hal spiritual, yang wilayahnya lebih luas daripada wilayah materi, berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sebagian ada yang sulit mengetahui hal-hal spiritual, dan sebagian lagi ada yang dengan mudah dapat mengetahui hal-hal spiritual yang paling luas. Semakin mampu mengetahui hal-hal spiritual, semakin sedikit keterkaitan manusia kepada materi dan pesonanya. Semakin sedikit keterkaitannya kepada materi, semakin ber�tambah pengetahuannya tentang hal-hal spiritual. Hal ini berarti bahwa setiap manusia, berdasarkan fitrahnya, memiliki kemampu�an untuk mengetahui ini. Dan seandainya manusia tidak meniada�kan kemampuan ini, maka ia dapat dididik dan dikembangkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang di�ketahui oleh manusia yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi, tidak dapat dikemukakan kepada manusia yang masih memiiliki tingkat pemahaman yang rendah. Seandainya kita berusaha mengemukakannya, maka reaksinya akan bertentangan, khususnya dalam hal-hal spiritual yang lebih penting daripada hal�hal materiil yang dapat diindera. Apabila hal-hal spiritual itu dikemukakan secara apa adanya kepada orang-orang awam, maka mereka akan memberikan kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan yang benar dan diharapkan.

Tidak ada salahnya di sini bila kami memberikan contoh berupa suatu agama dan dualisme. Jika Upanisyad-Upanisyad Weda India, direnungkan secara mendalam dan ditelaah bagian-bagian tertentunya dengan bantuan bagian-bagian lainnya, maka akan diketahui bahwa kitab suci itu menuju kepada tauhid. Akan tetapi sayangnya, tujuan itu dikemukakan secara langsung dan tidak menurut tingkat pemikiran orang-orang awam, sehingga akibatnya orang-orang Hindu yang lemah akalnya berkecenderungan untuk menyembah bermacam-macam berhala. Karena itu, rahasia-rahasia metafisikal harus dikemukakan secara tertutup atau terselubung kepada orang-orang yang bersikap materialistik.

Dalam agama-agama lain, sebagian orang teralang dari banyak hak keagamaan, seperti kaum wanita dalam Hindu Brahma, yahudi dan Kristen, sedangkan dalam agama Islam kasus seperti di atas tidak ada. Hak-hak keagamaan dalam Islam adalah untuk semua, bukan milik suatu kelompok tertentu, sehingga tidak ada perbedaan antara kaum awam dan kaum khusus, pria dan wanita, dan antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih. Semuanya sama dalam pandangan Islam dan tak seorang pun mempunyai kelebihan atas yang lain. Allah berfirman:







"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan." (QS 3:195)







"Hai manusia, sesungguhnya Kami meneiptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami menjadakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling berkenalan. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. " (QS 49:13)



Berdasarkan pemaparan di atas dapat kami katakan bahwa Al-Quran Suci memandang semua manusia bisa diajar, sehingga ia menggelarkan ajaran-ajarannya kepada semua manusia, makhluk yang mampu berjalan menuju kesempurnaan.

Mengingat terdapat perbedaan besar dalam memahami hal-hal spiritual, dan mengingat bahaya yang mungkin terjadi ketika ajaran-ajaran yang tinggi disampaikan, seperti telah kami sebutkan tadi, Al-Quran mengemukakan ajaran-ajarannya dengan penyam�paian sederhana yang sesuai untuk kebanyakan orang, dan ia berbicara dengan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami.

Cara seperti ini menyebabkan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi terjelaskan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang kebanyakan. Dalam cara ini arti lahir kata-kata berfungsi menyam�paikan hal-hal dalam bentuk yang dapat dimengerti. Dan hal-hal spiritual - yang tetap berada di balik tirai arti-arti lahir - akan menunjukkan diri menurut pemahaman mereka. Setiap orang akan mengetahui arti-arti itu menurut kadar kemampuan akalnya. Allah berfirman:







"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. Al-Quran itu ada dalam Ummul Kitab di sisi Kami, benar-benar tinggi nilainya dan amat banyak mengandung hikmah. " (QS 43:3-4)



'Benar-benar tinggi nilainya' berarti bahwa ia tak terjangkau oleh manusia, dan 'mengandung hikmah' berarti bahwa akal manusia tak dapat menembusnya. Untuk memberikan perumpamaan ten�tang kebenaran, kepalsuan dan kemampuan akal, Allah berfirman:







"Allah telah menurunkan air hujan dari langit, kemudian mengalirkan air di lembah-lembah menurut ukurannya. " (QS 13: 17)



Dan Rasulullah s.a.w. bersabda dalam sebuah hadis yang terkenal:







"Kami, golongan para Nabi, berbicara kepada manusia menurut kadar kemampuan akal mereka. "1)



Hasil lain dari cara ini ialah bahwa arti-arti lahir Al-Quran itu adalah seperti lambang dari arti-arti batin. Yakni, dalam hal ajaran�ajaran Allah yang berada di luar pemahaman orang kebanyakan ada bentuk-bentuk perumpaannya, sehingga ajaran-ajaran itu bisa dimengerti oleh orang kebanyakan. Allah berfirman:







"Sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia mengingkarinya. " (QS 17:89)







"Itulah perumpamaan perumpamaan yang Kami buat bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS 29:43)



Di dalam Al-Quran terdapat banyak perumpamaan, tetapi ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah mutlak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh ayat ini merupakan perumpamaan-perumpamaan tentang pengetahuan-pengetahuan tinggi yang merupakan maksud sejati Al-Quran.





1). Biharul Anwar, I, h. 37.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Dalam Al-Quran Terdapat Muhkam dan Mutasyabih



Allah berfirman:



"Suatu kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan." (QS 11:1)







"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Quran yang mutasyabih dan berulang-ulang, yang karenanya gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka. " (QS 39:23)









"Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk, dan lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami. " (QS 3: 7)



Kita melihat ayat pertama menegaskan bahwa seluruh kan�dungan Al-Quran adalah muhkam. Maksudnya ialah bahwa ia itu kukuh dan jelas. Ayat kedua menjelaskan bahwa seluruh kandungan Al-Quran adalah mutasyabih. Maksudnya ialah bahwa ayat�ayatnya berada dalam satu ragam keindahan, gaya, kemanisan bahasa dan daya ungkap yang luar biasa. Sedangkan ayat ketiga membagi Al-Quran menjadi dua bagian: muhkam dan mutasyabih. Kesimpulan dari ayat-ayat ini adalah:

Pertama, muhkam adalah ayat-ayat yang maksud (isyarat)-nya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemaham�an, sedang ayat-ayat mutasyabih tidak demikian.

Kedua, setiap orang beriman yang kukuh imannya wajib ber�iman kepada ayat-ayat muhkam dan mengamalkannya. Ia juga wajib beriman kepada ayat-ayat mutasyabih, tetapi tidak untuk mengamalkannya. Orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih dan mengamalkan apa-apa yang diinspirasikan oleh penakwilan mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan menyesatkan orang lain.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
menurut Para Mufasir dan Ulama


Para ulama banyak berbeda pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih. Barangkali, dalam hubungan ini, ter�dapat dua puluh pendapat mengenai kedua hal itu. Pendapat yang lazim dan andal (sahih) sejak awal Islam sampai pada masa kita sekarang ini ialah:

Pertama, ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya jelas, tidak ada ruang bagi kekeliruan. Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan.

Kedua, ayat mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya, sedangkan makna hakikinya, yang merupakan takwilnya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib diamalkan.

Inilah pendapat-pendapat di kalangan saudara-saudara kami, ulama Ahlus Sunnah, dan di kalangan ulama Syi'ah. Hanya saja ulama Syi'ah percaya bahwa Nabi dan para Imam Ahlul Baitnya mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabih, sedangkan pada umumnya kaum Muslimin, karena tidak mempunyai jalan untuk mengetahuinya, merujuk kepada Allah, Rasulullah dan para Imam.

Pendapat ini, walaupun dianut oleh sebagian besar para mufasir, tidak sesuai dengan firman Allah:







"Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkam. ...." (QS 3:7)



dan tidak sesuai pula dengan yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang lain, karena:

Pertama, kita tidak mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang kita tidak menemukan jalan untuk mengetahui maksudnya. Al-Quran sendiri menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat seperti cahaya, penunjuk dan penjelas. Sifat-sifat ini tidak sesuai dengan tidak dapat diketahuinya makna dan maksud Al-Quran.







"Tidakkah mereka itu merenungkan Al-Quran? Seandainya Al-Quran itu dari sisi selain Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)



Bagaimana perenungan terhadap Al-Quran bisa menghilangkan semua pertentangan, bila di dalamnya terdapat ayat-ayat mutasyabih yang tidak mungkin diketahui maknanya, seperti dinyatakan oleh pendapat yang telah kami kutip tadi?

Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabih adalah huruf-huruf sebagaimana terdapat dalam permulaan beberapa surat, seperti (alif-lam-mim), (alif-lam-ra), (ha-mim) dan lain-lain, karena makna hakiki huruf-huruf ini tidak diketahui. Mesti diingat bahwa dalam ayat di atas, ayat mutasyabih digunakan bertentangan dengan ayat muhkam, sehingga maksud ayat mutasyabih ditunjukkan oleh kata-katanya, meski�pun maksud yang ditunjukkan oleh kata-kata lahirnya bisa sama dengan maksud yang hakiki. Sedangkan maksud ayat-ayat itu tidaklah demikian.

Di samping itu, ayat ini tampaknya menunjukkan bahwa sekelompok orang yang sesat berusaha menyesatkan dan mem�fitnah orang dengan menggunakan ayat-ayat mutasyabih. Padahal belum pernah terdengar adanya orang di kalangan kaum Muslimin yang melakukan penakwilan seperti itu terhadap singkatan-singkat�an tersebut. Dan orang-orang yang berbuat demikian telah ber�buat seperti itu terhadap semua ayat mutasyabih, bukan hanya terhadap singkatan-singkatan ini saja. Sebagian ulama berkata bahwa ayat itu mengisyaratkan sebuah kisah tentang usaha orang�orang Yahudi untuk mengetahui masa hidup Islam melalui singkat�an-singkatan itu, tetapi Rasulullah s.a.w. membaca singkatan�singkatan satu demi satu untuk membantah persangkaan mereka itu.1)

Pernyataan ini tidak benar, karena kisah itu, seandainya benar, menunjukkan bahwa usaha orang-orang Yahudi itu telah dijawab seketika oleh Rasulullah. Kejadian ini tidak sepenting itu sehingga turun ayat mutasyabih. Alasan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kata-kata orang Yahudi itu tidak mengandung fitnah. Sebab suatu agama, jika memang benar, tidak akan terpengaruh (terhapus) oleh masa. Hal ini tampak pada agama-agama yang benar sebelum Islam.

Kedua, akibat dari pendapat ini adalah bahwa arti kata 'takwil' dalam ayat itu adalah 'maksud yang berbeda dengan makna lahir'. Pengertian 'takwil' semacam ini hanya terbatas pada ayat-ayat mutasyabih. Pengertian ini tidak benar, dan dalam pembahasan tentang 'takwil' dan 'tanzil', selain dijelaskan bahwa dalam ke�biasaan Al-Quran 'takwil' bukanlah berarti 'maksud' bahasanya, juga dijelaskan bahwa semua ayat muhkam dan mutasyabih mempunyai takwil.

Ketiga, ayat tersebut menggambarkan ayat-ayat muhkam se�bagai induk Al-Quran. Hal ini berarti bahwa ayat muhkam mengandung pokok-pokok masalah yang terdapat dalam Al-Quran, sedangkan ayat-ayat lain merincinya. Akibatnya adalah, untuk mengetahui maksudnya, ayat-ayat mutasyabih harus dirujukkan kepada ayat-ayat muhkam.

Berdasarkan hal itu, maka tidak ada satu ayat pun dalam Al�Quran yang tidak mungkin diketahui maknanya. Ayat-ayat Al�Quran itu muhkam secara langsung dan tak langsung, seperti ayat� ayat mutasyabih. Adapun maksud singkatan-singkatan di per�mulaan beberapa surat tidaklah ditunjukkan oleh kata-katanya, sehingga ia tidak termasuk muhkam dan mutasyabih.

Yang kami katakan ini dapat diketahui dari firman Allah:







"Tidakkah mereka rnerenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka itu tertutup?" (QS 47:24)







"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya Al-Quran. itu bukan dari sisi Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)





1). Lihat Tafsir a!-'Iyasyi I, hl. 26. Tafsir al-Qummi pada penafsiran awal surat al�Baqarah. Dan Nuruts Tsaqalain, I, h. 22.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Pandangan-Pandangan Imam-Imam Alrtul Bait tentang Muhkam dan Mutasyabih


Yang kami pahami dari berbagai sabda para Imam Ahlul Bait (salam atas mereka) adalah bahwa tidak ada mutasyabih yang maksud hakikinya tidak mungkirr diketahui. Akan tetapi, ayat-ayat yang makna hakiki mereka tidak dapat diketahui secara langsung, dapat diketahui dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Inilah pengertian ketergantungan ayat mutasyabih kepada ayat muhkam. Arti lahir firman Allah:







"Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy." (QS 20:5)







"Dan datanglah Tuhanmu. " (QS 89:22)



menunjukkan bahwa Tuhan itu berjasmani dan bahwa Ia itu materi. Tetapi, jika kita merujukkan kedua ayat itu kepada firman Allah:







"Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya." (QS 42:11)



maka jelaslah bahwa bersemayam dan datang itu bukan berarti menetap di suatu tempat atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Nabi Muhammad s.a.w. bersabda tentang Al-Quran:



"Sesungguhnya Al-Quran itu tidak diturunkan agar sebagian�nya mendustakan sebagian yang lain. Tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang Izamu ketahui, amalkanlah, dan apa yang samar bagimu, imanilah. "1)



Ali a.s. berkata:



"Sebagian Al-Quran menguatkan sebagian yang lain, dan se�hagiannya menjelaskan sebagian yang lain.2)



Imam ash-Shadiq a.s. berkata:



"Muhkam adalah ayat yang dapat diamalkan, dan mutasyabih adalah ayat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahuinya. "3)



Imam ar-Ridha a.s. berkata:



"Barazzgsiapa merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat�-ayat muhkam, maka dia telah ditunjuki kepada jalan yang lurus. "Sesungguhnya dalam hadis-hadis kita, ada yang mutasyabih, seperti ayat-ayat mutasyabih. Oleh karena itu, rujukkanlah hadis�hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, dan janganlah kamu menngikuti hadis mutasyabih, agar kamu tidak tersesat. "4)



Hadis-hadis ini, khususnya hadis yang terakhir, menjelaskan bahwa untuk mengetahui makna ayat-ayat mutasyabih, kita harus merujukkan ayat-ayat itu kepada ayat-ayat muhkam. Hal ini ber�arti - sebagaimana telah kami paparkan tadi - bahwa di dalam Al-Quran tidak terdapat satu ayat pun yang tidak mungkin di�ketahui maksudnya.





1). Ad-Durrul Mantsur, II, h. 8.

2). Nahjul Balaghah, Fatwa ke-131.

3). Tafsir al-'Iyasyi, I, h. 162.

4). �Uyunul Akhhar, I, h. 290.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Dalam AI-Quran Ada Tanzil dan Takwil



Kata-kata 'ta'wil' (takwil) Al-Quran' digunakan dalam tiga ayat Al-Quran:







"Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada kecenderungan kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabih Al-Quran, untuk menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah." (QS 3:7)







"Kami telah mendatangkan sebuah kitab kepada mereka, yang Kami jelaskan dengan pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka itu menunnggu kecuali takwilnya. Pada hari datangnya takwil itu, orang-orang yang telah melupakannya sebelumnya itu berkata: 'Rasul-rasul yang diutus Tuhan kami telah datang dengan membawa kebenaran'. " (QS 7:52-53)







"Bahkan mereka mendustakan apa yang sepenuhnya tidak mereka ketahui, padahal takwilnya belum sampai kepada mereka. Demikianlah, orang-orang sebelum mereka telah mendustakan kebenaran. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. " (QS 10:39)



Kata ta'wil berasal dari kata al-awwal yang berarti kembali. Yang dimaksud dengan ta'wil adalah sesuatu yang menjadi rujukan ayat. Sedangkan tanzil adalah makna yang jelas dari suatu ayat.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Pengertian Takwil menurut Para Mufasir dan Ulama


Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian ta'wil. Terdapat lebih dari sepuluh pendapat tentang hal itu. Di antaranya, dua pendapat berikut adalah pendapat-pendapat yang terkenal:

Pendapat pertama adalah pendapat ulama-ulama klasik (qudama). Pendapat ini mengatakan bahwa takwil dan tafsir itu searti. Oleh karena itu, semua ayat Al-Quran mempunyai takwil, kecuali ayat berikut:







"Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. " (QS 3:7)



Berdasarkan ayat ini, maka yang mengetahui ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah SWT. Karena itu, sebagian ulama klasik ber�pendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah singkatan-singkatan pada permulaan beberapa surat, karena tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang maknanya tidak diketahui oleh semua manu�sia selain singkatan-singkatan ini. Tetapi, dalam pembahasan yang lalu kami telah menunjukkan bahwa pendapat ini tidak benar. Mengingat Al-Quran mengatakan bahwa selain Allah tidak ada yang tahu ta'wil sebagian ayat, dan tidak ada ayat-ayat yang arti�nya tidak akan diketahui oleh semua manusia, dan mengingat singkatan-singkatan yang terletak di permulaan beberapa surat itu bukanlah ayat-ayat mutasyabih, maka para ulama mutaakhir (ulama sesudah abad ketiga Hijriah) menolak pendapat para ulama klasik ini.

Pendapat yang kedua adalah pendapat ulama mutaakhir. Pen�dapat ini mengatakan bahwa 'takwil' mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir suatu ayat. Oleh karena itu, tidak semua ayat Al-Quran dapat ditakwil, kecuali ayat-ayat mutasyabih. Dan yang tahu arti ayat-ayat mutasyabih ini hanyalah Allah. Contoh ayat-ayat seperti itu (mutasyabih) adalah "Allah itu ber�jasmani", "Ia datang", "bersemayam", "merasa senang, benci, sedih" dan sifat-sifat lain yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Begitu pula ayat-ayat yang arti lahirnya menunjukkan penisbatan dosa kepada para Rasul dan Nabi yang Suci.

Sedemikian termasyhur pendapat ini, sampai-sampai kata takwil diartikan sebagai 'berbeda dengan makna lahir'. Begitu pula, menafsirkan ayat yang berbeda dengan makna lahirnya, dengan alasan yang mereka sebut takwil merupakan tema yang dikenal luas, padahal tema itu mengandung kontradiksi.1)

Walaupun sangat terkenal, pendapat ini tidak sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran, karena:

Pertama, perkataan Al-Quran:







"Tiadalah mereka itu menunggu kecuali takwilnya." (QS 7:53)







"Bahkan mereka mendustakan apa yang belum benar-benar mereka ketahui, padahal takwilnya belum sampai kepada mereka." (QS 10:39)



menunjukkan bahwa keseluruhan ayat AI-Quran ada takwilnya. Dan yang ada takwilnya bukan saja hanya ayat-ayat mutasyabih.

Kedua, akibat dari pendapat ini ialah adanya ayat-ayat Al�Quran yang pengertian hakiki ayat-ayat itu tidak jelas dan tidak diketahui oleh manusia, dan yang mengetahuinya hanyalah Allah. Ucapan yang tidak jelas maksudnya bukanlah merupakan ucapan yang indah, padahal AI-Quran telah membuktikan keunggulan�nya dalam keindahan bahasa kepada dunia sastra�

Ketiga, berdasarkan pendapat ini, maka tidak sempurnalah penalaran Al-Quran, karena:







"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya Al�Quran itu bukan dari sisi Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)



Salah satu bukti bahwa Al-Quran bukanlah perkataan manusia adalah tidak adanya pertentangan antara makna dan maksud ayat-ayatnya, meskipun jarak masa turunnya lama, berbeda kondisi dan sebab turunnya. Pertentangan yang tampak selintas antar�beberapa ayat akan hilang dengan merenungkan ayat-ayat itu. Meskipun sejumlah ayat mutasyabih menunjukkan perbedaan dengan ayat-ayat muhkam, dan jika perbedaan ini terhapuskan dengan berpendapat bahwa arti lahiriah ayat-ayat mutasyabih bukanlah arti yang dimaksudkannya, sedangkan arti yang dimaksudkannya hanya diketahui oleh Allah saja, maka perbedaan pen�dapat seperti itu bukanlah menjadi sebab dikatakannya bahwa Al-Quran bukanlah perkataan manusia.

Jika perbedaan-perbedaan itu dapat dihapuskan dengan meng�hindarkan arti lahiriah setiap ayat yang tampak bertentangan de�ngan ayat-ayat muhkam melalui penakwilan - menurut istilah ulama mutaakhir - yang berbeda dengan lahiriahnya, maka akan ada kemungkinan untuk meniadakan perbedaan-perbedaan bahkan kata-kata manusia melaiui penakwilan.

Keempat, sama sekali tidak ada alasan bahwa menakwilkan ayat muhkam dan mutasyabih berarti bertentangan dengan makna lahir ayat itu, dan arti semacam itu tidak terdapat pada apa yang disebut 'takwil'. Sebagai contoh, pada tiga tempat mengenai kisah Nabi Yusuf a.s.,2) tafsir atas mimpi diistilahkan dengan takwil. Jelaslah bahwa tafsir atas mimpi itu bukanlah sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi, tetapi tafsir atas mimpi itu merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam bentuk tertentu, seperti Yusuf melihat penghormatan ayah, ibu dan saudara-saudaranya dalam bentuk bersujudnya matahari, bulan dan bintang kepadanya. Dan Raja Mesir melihat tahun�tahun kekeringan dalam bentuk tujuh lembu kurus memakan tujuh lembu gemuk. Sedangkan dua orang teman Yusuf di penjara melihat penyaliban dan pengabdian kepada raja dalam bentuk memeras anggur dan membawa roti di atas kepala yang dimakan burung.

Dalam kisah tentang Nabi Musa dan Khidhir, sesudah Khidhir melubangi perahu, membunuh bocah dan menegakkan dinding, selalu dikritik Musa. Kemudian Khidhir menyebutkan rahasia yang tersimpan di balik perbuatan-perbuatannya itu, dan rahasia itu dinamakannya 'takwil'. Hal ini menunjukkan bahwa maksud sejati yang berbentuk perbuatan-perbuatan disebut takwil. Dan ia bukan berarti sesuatu yang berbeda dengan wujud perbuatan itu.

Allah berfirman tentang penimbangan dan penakaran:







"Penuhilah takaran bila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik takwilnya." (QS 17:35)



Yang dimaksud dengan takwil dalam penakaran dan penim�bangan di sini adalah berkenaan dengan situasi ekonomi (pertukar�an barang dan bahan pokok kehidupan) di pasar. Takwil dalam pengertian ini bukanlah bertentangan dengan makna lahiriah dari penimbangan, tetapi merupakan kenyataan lahiriah atau jiwa da�lam penakaran dan penimbangan, dan betul atau tidaknya ke�nyataan lahiriah atau jiwa itu menjadikan baik atau buruknya.

Di tempat lain Allah berfirman:







"Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka rujukkanlah sesuatu itu kepada Allah dan Rasul-Nya. ..... Hal itu lebih utama dan lebih baik takwilnya." (QS 4:59)



Yang dimaksud dengan takwil dalam ayat ini adalah kukuhnya persatuan dan tegaknya hubungan-hubungan spiritual dalam masyarakat. Dan hal ini merupakan hakikat lahiriah dan bukan merupakan sesuatu yang berbeda dengan wujud lahiriah dari merujukkan perselisihan.

Demikian pula enam belas ayat lain yang menyebutkan kata takwil, yang kita tidak dapat memandang takwil sebagai sesuatu yang berbeda dengan wujud lahiriahnya, melainkan takwil itu adalah makna lain yang akan kami jelaskan dalam pembahasan yang akan datang.







1). Karena, menakwilkan ayat dengan mengakui bahwa takwil itu hanya diketahui secara sempurna oleh Allah SW'f, merupakan perbuatan yang kontradiktif. Tetapi, mereka menyebutkan hal itu dengan alasan bahwa takwil itu merupakan kemungkinan yang dikandung oleh ayat.

2.) Mimpi Yusuf a.s. disebutkan dalam ayat ke-4 surat Yusuf: "lrtgadah ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: 'Wahai ayah tercinta, sesungguhnya aku melihat sebelas bin�tang, matahari dan bulan bersujud kepadaku'."

Tafsir mimpi Yusuf disebutkan dalam ayat ke-100 melalui lisan Yusuf ketika ber�temu dengan ayah dan ibunya setelah beberapa tahun berpisah, yaitu: "Dan dia me�naikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana, mereka merebahkan diri menghormat kepadanya. Yusuf berkata: 'Wahai ayahku, inilah tafsir mimpiku sebelumnya. Tuhan telah membuat mirnpiku itu menjadi kenyataan'."

Mimpi Raja Mesir disebutkan dalam ayat ke-43: "Raja berkata.' 'Sesungguhnya aku bermimpi rnelihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus. Dan aku rnelihat tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh lainnya yang kering'. "

Tafsir mimpi Raja Mesir ini disebutkan dalam ayat ke-47 - 49 melalui lisan Yusuf, yaitu: "Yusuf berkata: 'Bertanamlah tujuh tahun lamanya sebagaimana biasa, kemudian apa rang kamu tunai hendaklah tetap dibiarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang karnu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit bibit gandum yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun yang pada waktu itu manusia diberi hujan yang cukup dan di masa itu mereka memeras anggur'. "

Dan mimpi kedua teman Yusuf di penjara disebutkan dalam ayat ke-36: 'Bersama dengan dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam penjara. Berkatalah salah seorang di antara keduanya: 'Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.' Dan yang lainnya berkata: 'Sesungguhnya aku bermimpi membawa rori di atas kepalaku, dan sebagian roti itu dimakan burung'."

Tafsir mimpi kedua orang pemuda itu disebutkan dalam ayat ke-41 melalui lisan Yusuf: "Wahai dua orang temanku di penjara, salah seorang di antara kamu berdua akan menyuguhkan minuman tuak kepada tuannya, sedangkan yang lain akan disalib dan sebagian kepalanya akan dimakan burung. Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya."

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Pengertian Takwil yang Hakiki dalam Al-Quran



Kesimpulan dari ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kata takwil - sebagiannya telah dipaparkan di atas - adalah bahwa takwil bukanlah sesuatu yang menjadi maksud kata-kata. Jelas, bahwa dalam mimpi-mimpi dan tafsirnya yang dipaparkan dalam surat Yusuf tidak ada kata-kata yang menggambarkan bahwa mimpi itu merupakan takwil verbal mimpi itu, walaupun bertentangan dengan wujud lahiriahnya. Demikian juga dalam kisah Musa dan Khidhir. Kata-kata kisah itu bukanlah bukti takwil yang dituturkan Khidhir kepada Musa. Dan pada ayat yang dipaparkan di atas:







"Penuhilah takaran jika kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar ..... " (QS 17:35)



dua kalimatnya tidak memberikan bukti verbal tentang situasi ekonomi yang menjelaskan masalah itu. Begitu pula ayat,







"Apabila kamu berselisila tentang sesuatu, maka rujukkanlah sesuatu itu kepada Allah dan Rasul-Nya. . . . " (QS 4:59)



tidak memberikan bukti verbal tentang kesatuan Islam yang ter�sirat di dalamnya. Demikian juga dengan ayat-ayat lain, jika kita menelaahnya secara mendalam dan cermat.

Adapun takwil mimpi, ia merupakan suatu kenyataan lahiriah dalam bentuk tertentu yang dilihat oleh orang-orang yang bermimpi. Dalam Kisah Musa dan Khidhir, takwil yang dijelaskan Khidhir merupakan suatu kenyataan yang menjadi dasar per�buatan-perbuatan yang dilakukannya. Dalam ayat yang menyerukan penakaran dan penimbangan yang benar, takwilnya merupa�kan suatu kenyataan dan suatu kemaslahatan umum yang menjadi dasar perintah itu. Begitu pula dengan ayat tentang perujukan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, takwil sesuatu merupakan suatu kenyataan yang menjadi landasan sesuatu itu, dan merupakan isyarat dan pemenuhannya. Makna seperti ini terungkap dalam Al-Quran, karena Kitab ini bersumber pada serangkaian kebenaran. Dan masalah spiritual - yang lepas dari hal-hal material dan fisikal - berada di atas indera-indera kita dan di atas hal-hal lahiriah, dan bentuknya jauh lebih luas daripada kata-kata dan kalimat-kalimat yang merupakan produk-produk kehidupan material kita.

Kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataan spiritual ini tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata. Satu-satunya hal yang dimungkinkan oleh alam gaib ialah memperingatkan manusia dengan kata-kata ini agar mempersiapkan diri untuk mencapai kebahagiaan melalui keyakinan-keyakinan kongkretnya kepada kebenaran dan amal-amal saleh. Tidak adajalan lain bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan kecuali dengan hal-hal ini. Hanya pada Hari Kebangkitan dan ketika bertemu Allah, akan tampak jelas baginya kebenaran-kebenaran ini sebagaimana digambarkan oleh dua ayat dari surat al-A'raf (6) dan S'unus (10) di atas. Me�ngenai hal ini Allah berfirman:







"Demi kitab yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami telah membuatnya menjadi Al-Quran yang berbahasa Arab agar kamu sekalian memahami. Al-Quran itu berada di dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfudh) di sisi Kami, mempunyai nilai yang tinggi dan banyak mengandung hikmah." (QS 43:2-4)



Kata 'tinggi' berarti bahwa ia tidak bisa dimengerti oleh akal orang awam. Sedangkan 'banyak mengandung hikmah' berarti bahwa ia sedemikian kukuh.

Kesesuaian akhir ayat ini dengan takwilnya dalam arti yang telah kami sebutkan tadi sudah jelas, dan tidak perlu diragukan, terutama karena Allah berfirman "agar kamu sekalian memahami ", dan Dia tidak mengatakan "agar kamu sekalian memahaminya". Sebab, pengetahuan tentang takwil itu hanya milik Allah, sebagai�mana disebutkan dalam ayat tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, yakni "dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah". Oleh karena itu, ketika bermaksud memberi pe�ringatan kepada orang-orang yang menyimpang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih, ayat itu mengatakan bahwa mereka mencari-cari fitnah dan takwil, dan tidak mengatakan bahwa mereka menemukan takwil. Karena itu, takwil merupakan kebenaran atau kebenaran-kebenaran yang ada di Lauh Mahfudh (Ummul Kitab), yang hanya diketahui oleh Allah, dan hanya ada di alam gaib.

Dalam ayat-ayat yang lain Allah berfirman:







"Maka Aku bersumpah dengan kedudukan bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar jika kamu mengetahui. Sesungguhnya ia merupakan Al-Quran yang amat mulia, di dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudh). Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturun�kan dari Tuhan semesta alam. " (QS 56:75-80)



Dari ayat-ayat itu tampak dengan jelas bahwa Al-Quran mem�punyai dua maqam (peringkat): yakni sebuah Kitab yang disimpan dan dipelihara dari sentuhan (yakni, hanya para suci yang dapat menyentuhnya), dan tanzil (pewahyuan) yang dapat dipahami oleh semua orang.

Manfaat lain yang dapat kami ambil dari ayat-ayat ini, dan tidak kami temui dalam ayat-ayat terdahulu, adalah pengecualian, yaitu "kecuali orang-orang yang disucikan". Firman ini menunjukkan bahwa ada sebagian orang yang dapat menjangkau kebenaran (esensi) AI-Quran dan takwilnya. Hal ini tidak bertentangan dengan penafian yang terdapat dalam firman 'padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah ", sebab pemaduan antara kedua ayat ini akan menghasilkan kemandirian dan ketergantungan. Artinya, dari kedua ayat itu diketahui kemandirian ilmu Allah tentang esensi-esensi ini, dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali dengan izin dan pengajaran dari-Nya.

Mengetahui takwil - menurut penjelasan kami di atas - adalah seperti mengetahui hal gaib, yang dalam banyak ayat dikhususkan untuk Allah saja, dan dalam satu ayat hamba-hamba yang diridhai-Nya diberi karunia khusus untuk dapat mengetahui hal gaib itu. Ayat itu adalah firman Allah:







"Yang mengetahui hal gaib, dan Dia tidak memperlihatkannya kepada seorangpun, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. . . . " (QS 72:26-27)



Dari semua pernbicaraan tentang mengetahui yang gaib, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa secara mandiri pengetahuan itu hanya dimiliki Allah, dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali dengan izin-Nya. Memang, orang-orang yang disucikan adalah mereka yang menyentuh kebenaran dan mencapai kedalaman pengetahuan-pengetahuan Qurani, sebagaimana dipaparkan oleh ayat-ayat yang telah kami sebutkan di atas. Jika kita memadukan ayat-ayat ini dengan ayat:







"Sesungguhnya Allah bermaksud membersihkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersih�nya. " (QS 33:33)



yang, menurut hadis-hadis mutawatir, diturunkan berkenaan de�ngan hak Ahlul Bait, maka kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dan Ahlul Bait beliau a.s. adalah orang-orang yang di�sucikan dan mengetahui takwil Al-Quran.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Al-Quran dan Nasikh-Mansukh


Ada sejumlah ayat hukum di dalam Al-Quran yang turun menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang telah diturunkan sebelumnya, dan mengakhiri berlakunya ketentuan dan hukum dari ayat-ayat yang diturunkan sebelumnya. Ayat-ayat yang diturunkan terdahulu disebut mansukh, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan kemudian dinamakan nasikh. Sebagai contoh, pada permulaan kerasulan Muhammad s.a.w., kaum muslimin dipe�rintahkan untuk bersikap ramah kepada Ahlul Kitab, sebagaimana firman Allah:







"Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya." (QS 2:109)



Kemudian ketentuan ini dicabut, dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memerangi mereka, sebagaimana firman-Nya SWT:







"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan yang tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu di antara orang yang al-Kitab diberikan kepada mereka." (QS 9:29)



Alasan Nasakh (penghapusan) yang kita terima adalah suatu hukum dikeluarkan untuk suatu kemaslahatan dan untuk dilaksanakan, sampai manusia menyadari kesalahannya, dan kemudian satu hukum lain diberikan, menggantikan hukum sebelumnya. Nasakh seperti ini bukanlah jenis Nasakh yang dengannya kekeliruan bisa dinisbatkan kepada Allah Yang Mahasuci dari kebodohan dan kesalahan. Nasakh yang demikian ini juga tidak terdapat dalam ayat-ayat AI-Quran, sebab ayat-ayat tersebut tidak mengandung pertentangan antara satu dengan lainnya. Tetapi arti Nasakh dalam Al-Quran ialah berakhimya waktu berlakunya hukum yang di-Nasakh (dihapus). Artinya bahwa hukum yang pertama memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara dan terbatas. Sedangkan ayat yang me-Nasakh (menghapus) memaklumkan berakhirnya masa kemaslahatan dan pengaruh tersebut. Mengingat Al-Quran diturunkan secara bertahap dalam berbagai situasi selama dua puluh tiga tahun, maka jelaslah bahwa ia (Al-Quran) mengandung hukum-hukum seperti itu.

Sesungguhnya menetapkan hukum yang sementara pada saat belum ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi - kemudian menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara dengan hukum yang abadi itu - merupakan sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusykil�an. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:







"Apabila Kami meletakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahua apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: 'Sesungguhnya kamu ada�lah orang yang mengada-adakan saja. ' Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui. Katakanlah: 'Jibril menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang beriman, dan sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang�orang yang berserah diri kepada Allah'. " (QS 16:101-102)

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Masa Berlaku Hukum-Hukum Al-Quran



Al-Quran adalah sebuah kitab abadi untuk semua masa. Hukum-hukumnya berlaku untuk semua manusia. karena itu, berlaku baik bagi orang yang hadir pada waktu ia turun maupun yang tidak. Ia sesuai untuk masa yang lalu dan akan datang, se�bagaimana ia sesuai untuk masa sekarang. Sebagai contoh, ayat�ayat yang menetapkan suatu hukum bagi kaum Muslimin pada. saat turunnya ayat-ayat itu dengan keadaan-keadaan tertentu, juga berlaku bagi kaum Muslimin dengan keadaan-keadaan yang sama pada masa sesudah turunnya ayat-ayat itu; dan ayat-ayat yang memuji dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang mempunyai sifat-sifat terpuji, atau mencela dan mengan�cam orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tercela, berlaku baik bagi orang-orang di masa turunnya ayat-ayat itu maupun orang�orang bukan di masa turunnya ayat-ayat itu.

Dengan demikian, sebab turunnya ayat tidak menjadikan ayat itu berlaku hanya bagi hal yang menyebabkan ayat itu turun. Artinya, bila suatu ayat diturunkan berkenaan dengan seseorang atau beberapa orang tertentu, maka ayat itu tidaklah terbatas untuk seseorang atau beberapa orang itu, melainkan ayat itu ber�laku bagi semua orang yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan mereka yang menjadi sebab turunnya ayat itu. Inilah yang dalam bahasa hadis disebut sebagai al-jary.

Imam al-Baqir, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari�nya, berkata kepada Fudhail bin Yasar, ketika Fudhail bertanya kepadanya tentang hadis berikut:

"Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang tidak memiliki zhahr dan bathin. Dan tak ada satu huruf pun dalam ayat itu, kecuali ia mempunyai had dan setiap had mempunyai mutthala'. " "Apakah yang dimaksudkan dengan lahir dan batin?" Al�Baqir menjawab: "Zhahr Al-Quran adalah tanzil-nya, dan bathn Al-Quran adalah takwilnya. Di dalam Al-Quran ada yang telah terjadi, dan ada pula yang belum terjadi. Ia berjalan sebagai matahari dan bulan. Setiap ada sesuatu yang datang darinya, sesuatu itu pasti akan terjadi."1)

Dalam beberapa hadis, bathn Al-Quran - yakni kesesuaiannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara terpisah-pisah - dianggap sebagai al-jary.2)




Kelahiran dan Perkembangan Tafsir AI-Quran



Penafsiran terhadap Al-Quran dan penjelasan tentang makna�makna serta ungkapan-ungkapannya telah dimulai sejak masa Rasulullah s.a.w. Beliau adalah guru pertama yang mengajarkan Al-Quran, menjelaskan maksudnya, dan menguraikan ungkapan�ungkapannya yang sulit. Allah berfirman:







"Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. " (QS 16:44)





"Dialah yang telah mengutus di kalangan orang-orang yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka. " (QS 62:2)



Pada masa Nabi, sekelompok sahabat, atas perintahnya, mem�baca Al-Quran, menghapalkan dan mendaiaminya. Mereka inilah yang dinamakan al-qurra'. Sesudah Nabi dan sahabat-sahabatnya wafat, kaum Muslimin terus menerus menafsirkan Al-Quran, sampai sekarang.





1). Tafsir al-Iyasyi, I, h. 10.

2). Ibid, h. 11.

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Ilmu Tafsir dan Kelompok Mufasir



Sesudah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat menekuni penafsiran Al-Quran. Mereka adalah Ubay bin Ka'b, Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa'id al-Khudri, Ab�dullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy'ari, dan yang paling terkenal adalah Abdullah bin Abbas. Dalam menafsirkan Al-Quran, mereka meng�gunakan metode mengutip apa yang mereka dengar dari Rasulullah s.a.w. tentang makna ayat-ayat, yaitu dalam bentuk hadis-hadis yang ber-sanad.14) Hadis-hadis ini berjumlah lebih dari dua ratus empat puluh buah. Banyak di antaranya ber-sanad *) lemah dan matan-matan (teks-teks hadis)-nya tidak bisa dipercaya.

Kadangkala mereka menafsirkan ayat-ayat tanpa menisbat�kannya kepada Rasulullah s.a.w. Kemudian para mufasir dari kalangan Ahlus Sunnah memandang penafsiran ini sebagai bagian dari hadis Nabi, dengan alasan bahwa para sahabat menerima pengetahuan 'tentang Al-Quran dari Rasulullah, dal: tidak mungkin mereka memberikan penafsiran mereka sendiri. Tidak ada bukti kuat yang menopang pandangan mereka ini. Dan sejutnlah besar hadis tersebut berbicara tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran dan latar belakang sejarahnya. Lagi pula, di antara hadis�hadis itu ada yang tidak memiliki sanad yang sampai kepada Nabi, dan diriwayatkan dari beberapa ulama Yahudi yang memeluk Islam, seperti Ka'b al-Ahbar dan lainnya.

Ibnu Abbas, dalam memahami makna ayat-ayat AI-Quran, sering bertumpu pada bait-bait syair. Hal ini terlihat dengan jelas dalam menjawab masalah-masalah yang dikemukakan oleh Nafi' bin al-Azraq. Ibnu Abbas menggunakan syair sebagai dalil dalam menjawab lebih dari dua ratus masalah. Dan As-Suyuthi, dalam bukunya, al-Itqan,15) mengutip seratus sembilan puluh jawaban Ibnu Abbas. Oleh karena itu, hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat tidak dapat dipandang sebagai hadis-hadis Nabi. Begitu pula, tidak dapat dikatakan bahwa mereka sepenuhnya tidak menafsirkan Al-Quran dengan berdasarkan pendapat pribadi mereka sendiri.

Para mufasir tersebut memandang para sahabat ini sebagai kelompok-pertama mufasir. Kelompok kedua adalah dari generasi tabi'in. Mereka adalah murid-murid para sahabat seperti Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ikrimah dan ad-Dhahak, Hasan al-Basri, Atha' bin Abi Rabah, Atha' bin Abi Muslim, Abul Aliyah, Muhammad bin Ka'b al-Kuradhi, Qatadah, 'Athiyah, Zaid bin Aslam dan Thawus al-Yamani.16)

Kelompok ketiga adalah para murid mufasir kelompok kedua, seperti Rabi' bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Abu Shalih al-Kilbi dan lain-lain.17)

Metode tabi'in dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan ayat-ayat kadang-kadang dalam bentuk hadis dari Rasulullah s.a.w. atau para sahabatnya, dan kadang-kadang menerangkan arti ayat tanpa merujuk kepada siapa pun. Sikap para mufasir mutaakhir terhadap pandangan-pandangan mufasir tabi'in ini sama dengan sikap mereka terhadap hadis-hadis Nabi, dan memandang pandangan-pandangan ini sebagai hadits mauquf. 18) Dua kelompok terakhir ini disebut qudama-ul mufassirin.

Kelompok keempat adalah orang-orang yang pertama kali menulis buku tentang ilmu tafsir, seperti Sufyan bin 'Uyainah, Waki' bin al Jarah, Syu'bah bin Haijaj, Abd bin Hamid dan Ibnu Jarir ath-Thabari, pengarang buku tafsir yang termasyhur.19) Metode mufasir kelompok ini adalah meriwayatkan pendapat-pendapat para sahabat dan tabi'in tanpa mengemukakan pendapat mereka sendiri. Hanya saja Ibnu Jarir, dalam buku tafsirnya, kadang-kadang lebih berpegang pada pandangan-pandangan ter�tentu.

Kelompok kelima adalah para mufasir yang menghimpun hadis-hadis dengan membuang sanad-sanad-nya. As-Suyuthi me�ngatakan: "Dari sini terjadilah perbauran berbagai penafsiran; penafsiran yang benar berbaur dengan penafsiran yang salah.20) ' Orang-orang yang mengkaji hadis-hadis ber- sanad akan menemu�kan banyak pemalsuan dan penyusupan, pendapat-pendapat yang saling bertentangan yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi'in, kisah-kisah dan cerita-cerita yang dapat dipastikan ketidakbenarannya dan hadis-hadis tentang sebab-sebab turunnya ayat, nasikh� - mansukh yang tidak sesuai dengan konteks ayat. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal (yang hidup sebelum munculnya kelompok ini) berkata: "Ada tiga macam hadis yang tidak mempunyai dasar, yaitu hadis-hadis tentang keperwiraan, pe�perangan besar dan tafsir." Imam asy-Syafi'i dikutip sebagai me�nyatakan bahwa di antara hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, hanya ada seratus hadis yang pasti kebenarannya.

Kelompok keenam adalah para mufasir yang muncul sesudah berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam Islam. Para mufasir ini melakukan penafsiran menurut spesialisasinya dan tentang ilmu yang dikuasainya. Yang ahli nahwu (gramatika bahasa Arab) melakukan penafsiran dari sudut pandang nahwu, seperti az-Zajaj, al-Wahidi dan Abu Ha�yan;21) yang ahli sastra melakukannya dari sudut pandang sastra, seperti az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf;22) yang ahli teologi mela�kukannya dari sudut pandang teologi, seperti al-Fahrur Razi dalam buku tafsirnya al-Kabir;23) yang sufi melakukannya dari sudut pandang sufi, seperti Ibnu Arabi dan Abdurrazaq al-Kasyani dalam buku tafsir mereka;24) yang ahli cerita memenuhi buku tafsirnya dengan cerita-cerita, seperti as-Tsa'labi dalam buku tafsirnya;25) yang ahli fikih melakukannya dari sudut pandang fikih, seperti al-Qurthubi dalam buku tafsirnya;26) dan sekelompok mufasir mengemukakan berbagai ilmu pengetahuan dalam buku tafsir mereka, seperti yang kita lihat dalam buku tafsir Ruhul Ma'ani,27) Ruhul Bayan,28) dan Tafsir an-Naisaburi.29)

Jasa kelompok ini kepada ilmu tafsir adalah mengeluarkan ilmu ini dari kemandegan (stagnasi) dan memasukkannya ke dalam pengkajian dan pembahasan. Akan tetapi, obyektivitas menuntut kita untuk menyatakan bahwa dalam banyak pembahasan mereka, pandangan-pandangan ilmiah dipaksa-paksakan terhadap Al-Quran, dan pembahasan-pembahasan itu tidak dilakukan melalui konteks ayat-ayat itu sendiri.








*). Sanad adalah rangkaian orang yang meriwayatkan hadis.


14). Al-Itqan, As-Suyuthi, (Kairo, 1370 H), halaman terakhir.

15). Ibid, h. 120-133.

16). Mujahid adalah seorang mufasir terkenal. Meninggal pada 100 (103) H (An-Nawawi, Tahzibul Asma'). Sa'id bin Jubair adalah seorang mufasir yang cukup terkenal dan murid Ibnu Abbas. Dibunuh oleh Hajaj as-Tsaqafi pada 94 H (Ibid). Ikrimah adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas dan menjadi muridnya, dan murid Sa'id bin Jubair. Meninggal pada 10 H (Ibid). Ad-Dhahak adalah seorang murid Ikrimah (Lisanul Mizan). Hasan al-Basri adalah seorang sufi dan mufasir yang terkenal. Meninggal pada 110 H (Tahzibul Asma'). 'Atha' bin Abi Rabah, seorang ahli hukum Islam dan mufasir yang terkenal. Murid Ibnu Abbas. Meninggal pada 115 H (Ibid). 'Atha' bin Abi Muslim, adalah salah seorang ulama terbesar dari generasi tabi'in. Murid Ibnu Jubair dan Ikrimah. Meninggal pada 133 H (Ibid). Abul 'Aliyah adalah salah seorang tokoh tafsir dan ulama terbesar dari generasi tabi'in. Hidup pada abad pertama Hijrah. Muhammad bin Ka'b al-Kuradhi adalah seorang mufasir yang cukup terkenal. Berasal dari keluarga Yahudi Bani Kuraidhah. Hidup pada abad pertama Hijrah. Qatadah adalah seorang buta. Salah seorang mufasir terbesar. Murid Hasan al-Basri dan lkrimah. Meninggal pada 117 H. (Tahzibul Asma'). 'Athiyah meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas. (Lisanul Mizan). Zaid bin .4slam adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh Umar bin Khatthab. Seorang ahli hukum Islam dan mufasir. Meninggal pada 136 H (Tahzibul Asma'). Thawus al�Yamani termasuk ulama yang tinggi ilmunya pada masanya. Seorang murid Ibnu Abbas. Meninggal pada l06 H (lbid).

17). Abdurrahman adalah seorang ulama ahli tafsir. Sedang Abu Shalih al-Kilbi adalah seorang ahh nasab dan mufasir. Ia termasuk ulama paling alim pada abad kedua Hijrah.

18). Hadits mauquf adalah hadis yang sumber periwayatannya tidak disebutkan.

19). Sufyan bin 'Uyainah berasal dari Makkah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan ulama tafsir. Meninggal pada 198 H (Tahzibul Asma'). Waki' bin al-Jarah berasal dari Kufah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan ulama tafsir terkenal. Meninggal pada 197 H (Ibid). Syu'bah bin Hajjaj dari Basrah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan mufasir ter�kenal. Meninggal pada 160 H (Ibid). Abd bin Hamid, pengarang buku tafsir. Termasuk generasi kedua tabi'in. Hidup pada abad kedua Hijrah. Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari, seorang ulama Ahlus Sunnah yang terkenal. Meninggal pada 310 H (Lisanul Mizan ).

20). As-Suyuthi, Al-Itqan, II, h. 190.

21). Az-Zajaj adalah seorang ahli nahwu. Meninggal pada 310 H (Raihanatul Adab). Al�Wahidi, seorang ahli nahwu dan mufasir. Meninggal pada 468 H (Ibid). Abu Hayan al�Andalusi, seorang ahli nahwu, mufasir dan ahli qira-ah. Meninggal di Mesir pada 745 H (Ibid).

22). Az-Zamakhsyari adalah seorang ahli sastra yang terkenal. Pengarang buku al-Kasyaf. Meninggal pada 538 H (Kasyfudh Dhunun)

23). Imam Fahrudin ar-Razi, adalah seorang teolog dan mufasir yang terkenal. Pengarartg buku tafsir Mafatihul Ghaib. Meninggal pada 606 H (Ibid)

24). Abdurrazaq al-Kasyani, adalah seorang sufi yang terkenal pada abad kedelapan Hijrah (Raihanatul Adab).

25). Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim as-Tsa'labi adalah seorang penulis kitab tafsir yang terkenal. Wafat pada 426 (427?) H (Ibid).

26). Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurthubi meninggal pada 668 H (Ibid).

27). Karya Syihabudin al-Alusi dari Baghdad, meninggal pada 1270 H (Ibid).

28). Karya Syaikh Ismail Haqi, meninggal pada 1137 H (Dzail Kasyfudh Dhunun).

29). Gharaibul Quran, karya Nidhamudin Hasan al-Qummi an-Naisaburi. Ia meninggal pada 728 H (Ibid)

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Metode dan Kelompok Mufasir Syi'ah



Kelompok-kelompok yang telah kami sebutkan di atas adalah kelompok para mufasir Ahlus Sunnah. Telah kita ketahui bahwa mereka memiliki metode tertentu dalam menafsirkan Al-Quran. Mereka memakai metode ini sejak masa pertumbuhannya. Metode mereka itu ialah membandingkan hadis-hadis Nabi dengan pen�dapat-pendapat para sahabat dan tabi'in. Mereka melarang peng�gunaan nalar terhadap hadis-hadis, karena penggunaan nalar seperti itu dianggap sebagai ber-ijtihad terhadap nash. Tetapi setelah ter�jadi pertentangan, penyusupan dan pemalsuan dalam hadis-hadis, kelompok keenam mulai menggunakan pendapat-pendapat mereka sendiri tentang hadis-hadis itu.

Adapun metode Syi'ah dalam menafsirkan Al-Quran berbeda dengan metode Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, pembagian ke�lompok-kelompok mereka berbeda dengan kelompok-kelompok yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan nash Al-Quran, Syi'ah berpendapat bahwa sabda Nabi Muhammad s.a.w., sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Quran, merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Al-Quran. Syi'ah juga berpendapat bahwa para sahabat dan tabi'in adalah seperti kaum Muslimin lainnya. Pen�dapat mereka tidak dapat dijadikan hujah, kecuali jika berdasarkan hadis Nabi. Dalam hadits tsaqalain, dengan sanad mutawatir, disebutkan bahwa sabda Ahlul Bait Nabi yang suci mengiringi sabda beliau, sehingga sabda mereka juga metupakan hujah. Oleh karena itu, dalam menafsirkan Al-Quran, Syi'ah menerima apa yang diriwayatkan dari Rasulullah dan Ahlul Baitnya, sehingga kelompok mufasir Syi'ah adalah sebagai berikut:

Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengemukakan tafsir dari Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait, dan mereka me�masukkan hadis-hadis itu dalam berbagai karangan mereka, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim, Ma'ruf, Jarir dan lain-lain.30) Kelompok kedua adalah orang-orang yang pertama kali me�nulis buku tafsir, seperti Furat bin Ibrahim al-Kufi, Abu Hamzah as-Tsali, al-'Iyasyi, Ali bin Ibrahim al-Qummi dan an-Nu'mani.31)

Dalam menafsirkan Al-Quran, mereka menggunakan metode yang digunakan oleh kelompok-keempat mufasir Ahlus Sunnah. Mereka mengemukakan hadis-hadis yang diriwayatkan dari kelom�pok pertama, dan memasukkannya ke dalam karangan-karangan mereka dengan menyebutkan sanad -nya, dan mereka tidak menge�mukakan pendapat mereka sendiri tentang masalah yang sedang dibahas. Jelas, waktu yang dibutuhkan untuk menerima riwayat�riwayat dari para Imam adalah lama, sampai kurang lebih tiga ratus tahun, sehingga wajar bila urut-urutan waktu dua kelompok ini tidak dapat ditentukan secara tepat, bahkan kedua kelompok itu saling berbaur dan sulit dipisahkan. Mufasir-mufasir pertama Syi'ah sedikit sekali mengutip hadis-hadis yang berbentuk riwayat yang tidak disebutkan sanad-nya (mursal) dalam buku-buku tafsir mereka. Contoh untuk pengutipan hadis-hadis yang diriwayatkan tanpa sanad adalah Tafsir al-'lyasyi yang, oleh sebagian muridnya, sanad-sanad-nya dibuang demi keringkasan. Kemudian naskah ringkasan itu menjadi terkenal dan menggantikan naskah aslinya. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti asy-Syarif Radhi dengan buku tafsirnya yang bercorak sastra; Syaikh ath-Thusi dengan buku taf�sirnya yang bercorak teologi, yang dinamakannya at-Tibyan; Maula Shadrudin asy-Syirazi dengan buku tafsirnya yang bercorak filsafat; al-Maibadi al-Kunabadi dengan buku tafsirnya yang bercorak tasawuf; dan Syaikh Abdul Ali al-Huwaizi, Sayyid Hasyim al� Bahrani serta al-Faidhul Kasyani dengan buku-buku tafsir mereka: Nuruts Tsaqalain, al-Burhan dan ash-Shafi.32)

Ada juga sekelompok ulama yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan dalam buku tafsir mereka, antara lain adalah Syaikh ath-Thabarsi dengan buku tafsirnya Majma'ul Bayan. Di dalam buku ini dibahas ilmu-ilmu bahasa, nahwu, qira-ah, teologi, hadis dan lain-lain.33)



30). Zurarah bin A'yun bin Muslim, seorang ahli flkih Syi'ah, murid-pilihan Imam al�Baqir dan ash-Shadiq a.s. Ma'ruf bin Khurbuz dan Jarir termasuk murid-murid pilihan Imam as-Shadiq a.s.

31). Furat bin Ibrahim dari Kufah, pengarang buku tafsir yang terkenal dan gutu Ali bin Ibrahim al-Qummi (Raihanatul Adab). Abu Hamzah as-Tsali, ahli fikih Syi'ah dan murid-pilihan Imam as-Sajjad dan al-Baqir a.s. Muhammad bin Mas'ud al-Kufi as-Samar�kandi al-Iyasyi, ulama Syi'ah Imamiah yang terkemuka dalam paruh kedua abad ketiga Hijrah (Ibid). Ali bin Ibrahim al-Qumnu, seorang guru hadis mazhab Syi'ah. Hidup pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijrah. Muhammad bin Ibrahim an-Nu'mani, ulama terkemuka Syi'ah Imamiah. Murid Tsiqatul Islam al-Kulaini. Hidup pada awal abad keempat Hijrah.

32). Asy-Syarif ar-Ridha Muhammad bin Husain al-Musawi adalah seorang ahli hukum Syi'ah Imamiah yang terkemuka, dan pada masanya menjadi orang yang paling ahli syair dan sastra. Di antara karangan-karangannya adalah Nahjul Balaghah. Meninggal pada 404 (406?) H (Raihanatul Adab). Syaikh Thaifah Muhammad bin Hasan ath-Thusi ada�lah seorang ulama Syi'ah Imamiah yang terkemuka. Di antara karangan-karangannya ada�lah at-Tahzib dan al-Istibshar yang merupakan salah satu buku standar tentang hadis bagi golongan Syi'ah. Meninggal pada 460 H (Ibid). Shadrul Muta$llihin Muhammad bin Ibrahim asy-Syirazi adalah seorang filosof terkenal, pengarang buku Asrarul Ayat dan Majmu'atut Tajasir. Meninggal pada 1050 H (Ibid). Sayyid Hasyim al-Bahrani adalah pengarang empat jilid besar tafsir al-Burhan. Meninggal pada 1107 H (Ibid). AI-Faidhul Kasyani, Maula Muhammad Muhsin bin al-Murtadha, pengarang kitab ash-Shafi dan al� Ashafa. Meninggal pada 1091 H (Ibid). Syaikh Abdul Ali al-Huwaizi asy-Syirazi, penga�rang buku Nuruts Tsaqalain dalam lima jilid. Meninggal pada 1112 H (Ibid ).

33). Aminul Islam al-Fadl bin Hasan ath-Thabarsi, seorang ulama Syi'ah Imamiah yang terkemuka dan pengarang Majma'ul Bayan dalam sepuluh jilid. Meninggal pada 548 H (Ibid).

MEMAHAMI RAHASIA AL-QURAN

Bagaimana Menafsirkan Al-Quran?



Jawaban untuk pertanyaan ini akan menjadi jelas bila kita merujuk kepada pembahasan-pembahasan sebelumnya. Al-Quran - seperti telah kami paparkan di atas - adalah sebuah kitab universal dan abadi untuk semua orang, berbicara kepada mereka dan menunjukkan tujuan-tujuan mereka. Dalam banyak ayatnya, Al-Quran menantang agar didatangkan perkataan yang menyamainya. Dengan demikian ia mengalahkan pemyataan manusia, dan menempatkan dirinya sebagai cahaya yang memperjelas segala sesuatu, sehingga kitab ini tidak perlu dijelaskan dengan yang lain. Untuk membuktikan bahwa ia bukan perkataan manusia, Al�Quran berkata:







"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)



Dalam Al-Quran tidak ada satu pertentangan pun. Andaikata secara selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan sirna dengan merenungkan Al-Quran itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan maksud-maksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai hujah tidak akan sempurna. Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu pertentang�an dalam Al-Quran yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain Al-Quran itu sendiri, maka ia tidak akan dapat menerima dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan lain, dengan menggunakan hadis, umpamanya. Hal itu dikarenakan orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan tidak mem�percayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan menolak pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila Nabi men�jelaskan untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan dalam AI-Quran tanpa menggunakan bukti verbal dari Al-Quran itu sen�diri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian dan kesuci�annya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak mau menerima sabda-sabda beliau jika tidak ada bukti kuat dari Al-Quran sendiri. Kita pun mengetahui bahwa Al-Quran sen�diri mengabsahkan sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula, Nabi mengabsahkan sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya.

Dari dua pernyataan ini dapat kami simpulkan bahwa di dalam AI-Quran ada sebagian ayat yang dapat dijelaskan dengan ayat�ayat yang lain, dan kedudukan Rasulullah serta keluarga beliau berkenaan dengan Al-Quran adalah sebagai guru dan pembimbing suci yang tidak akan ada kekeliruan atau kesalahan dalam ajaran�ajaran dan petunjuk-petunjuk mereka. Oleh karena itu, penafsiran mereka adalah sesuai dengan penafsiran yang dibuat dari memadu�kan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri.






Kesimpulan



Kesimpulan yang dapat kita peroleh dalam pembahasan yang lalu adalah bahwa penafsiran yang realistis terhadap Al-Quran merupakan penafsiran yang bersumber dari perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan pemaduan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Lebih jelasnya, dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat menempuh salah satu dari tiga jalan berikut:

Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah atau non�ilmiah yang kita miliki.

Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Imam-imam suci.

Menafsirkan suatu ayat dengan jalan merenungkan dan meng�kaji ayat itu dan ayat lain yang berkaitan, dan dengan bantuan hadis-hadis.

Jalan ketiga adalah kesimpulan pada akhir pembahasan yang lalu. Jalan ini diisyaratkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi dan Ahlul-Bait beliau. Nabi bersabda:



"Sesungguhnya sebagian ayat membenarkan sebagian yang lain. "



Ali berkata:



"Al-Quran, sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, dan sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. "



Dari paparan di atas jelaslah bahwa jalan ini bukanlah jalan yang dilarang dalam sebuah hadis Nabi yang terkenal:



"Barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. "



karena jalan tersebut berupa menafsirkan Al-Quran dengan Al�Quran, tidak dengan pendapat pribadi.

Jalan pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada hakikatnya ia merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun jalan kedua adalah jalan yang digunakan oleh para ulama tafsir pada periode awal, dan telah dipraktekkan selama beberapa abad. Jalan itu adalah jalan yang dipraktekkan sampai sekarang oleh para penulis hadis dari kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah. Jalan ini terbatas dan tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan kebutuhan, karena lebih dari enam ribu ayat dalam Al-Quran menghadapi beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah ataupun non�ilmiah. Dari manakah kita menemukan jawaban untuk pertanyaan�pertanyaan ini, dan bagaimana menghindarinya? Apakah kita akan mencarinya dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis? Dalam hal ini, jumlah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah kurang dari dua ratus lima puluh hadis. Dan banyak dari hadis�hadis ini lemah sanad-nya dan sebagiannya tertolak (munkar). Dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kalangan Syi'ah mencapai beberapa ribu hadis. Di antaranya ada sejumlah besar hadis yang andal (shahih). Meskipun demikian, hadis-hadis sebanyak itu tidak mencukupi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terbatas tentang ayat-ayat Al-Quran.

Di samping itu, ada ayat-ayat yang tidak ada satu hadis pun yang menjelaskan ayat-ayat itu, baik yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah. Bagaimana tindakan kita terhadap ayat-ayat tersebut? Menghadapi masalah ini, kita bisa merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan ayat yang ingin kita tafsirkan. Hal ini tidak dilarang. Mungkin kita menolak untuk membahas ayat itu dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan ilmiah yang menuntut kita untuk melakukan pembahasan. Jika demikian, apakah yang akan kita perbuat dengan ayat-ayat berikut yang menganjurkan pengkajian, perenungan dan pembahasan?







"Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelas�kan segala sesuatu." (QS 16:89)







"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran?" (QS 4:82)





,

"Sebuah kitab yang penuh berkah yang telah Kami turunkan kepadamu agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan orang�orang yang berakal menjadi sadar." (QS 38:39)







"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah telah datang kepada mereka sesuatu yang tidak datang kepada nenek moyang mereka?" (QS 23:68)



Dalam beberapa hadis sahih yang diriwayatkan dari Nabi dan para Imam Ahlul Bait, kita dianjurkan untuk kembali kepada Al�-Quran ketika menghadapi masalah.34) Apakah yang harus kita per�buat dengan hadis-hadis ini?

Hadis-hadis Nabi, pada umumnya, dan khususnya hadis-hadis mutawatir Nabi dan para Imam Ahlul Bait, telah menetapkan suatu kewajiban untuk merujukkan hadis-hadis kepada Al-Quran.35)Yang sesuai dengan AI-Quran, dapat diikuti dan yang tidak sesuai, dibuang. Kandungan hadis-hadis ini dipandang benar jika maksud dan pengertian (tafsir) ayat itu jelas. Apabila untuk mengetahui pengertian suatu ayat, kita harus merujuk kepada hadis, maka tidak ada ruang lagi untuk merujukkan hadis kepada Al-Quran. Hadis-hadis yang telah kami paparkan ini merupakan bukti paling kuat bahwa ayat-ayat Al-Quran itu seperti kata-kata berarti yang digunakan dalam pembicaraan. Ayat-ayat itu sendiri sudah me�rupakan hujah jelas yang tidak memerlukan hadis-hadis untuk menerangkannya.

Dari beberapa pembahasan yang lalu telah menjadi jelas bahwa kewajiban seorang mufasir adalah memperhatikan hadis-hadis Nabi dan para Imam Ahlul Bait dalam menafsirkan Al-Quran, dan mengetahui metode mereka. Kemudian menafsirkan Al-Quran dengan metode Al-Quran dan Sunnah, mengambil hadis-hadis yang sesuai dengan Al-Quran, dan membuang yang tidak sesuai.




34). Baca bagian awai Tafsir al-'Iyasyi, ash-Shafr, al-Burhan dan Biharul Anwar.

35). Biharul Anwar, l, h. 137.